Minggu, 12 Juni 2011

Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Makna Syahadat Rosul
Ustadz Luqman Jamal, Lc.
Syahadat ini sangat dihafal oleh kaum muslimin. Kalimatnya begitu pendek dan sederhana tetapi terwariskan secara turun temurun. Namun, tidak sedikit yang tidak tahu-menahu tentang kedalaman makna hakiki yang dikandungnya dan konsekuensi yang mesti tertanam dalam lubuk hati pengucapnya. Oleh karena itu, bagaimana agama menjelaskannya?
Syahadat La Ilaha Illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah satu rukun yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, dan keduanya menjadi satu rukun walaupun terdiri dari dua bahagian. Sebab seluruh ibadah dibangun di atas keduanya, maka tidaklah diterima ibadah itu kecuali ikhlas untuk Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ini adalah kandungan dari syahadat La Ilaha Illallah, dan ittiba’ ‘mengikuti’ Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dan ini adalah kandungan dari syahadat Muhammad Rasulullah. Karena itu, mengetahui makna, kandungan dan konsekuensi (keharusan) syahadat Muhammad Rasulullah sangatlah penting sebagaimana syahadat La Ilaha Illallah. Seseorang, kalau mau masuk Islam, harus mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut, kemudian wajib memahami dan mengamalkan kedua syahadat tersebut lahir dan batin, dan wajib mengulangi kedua syahadat tersebut minimal sembilan kali dalam sehari semalam.
Syahadat Muhammad Rasulullah,atau dengan redaksi yang lebih lengkap Muhammad ‘Abdullahi wa Rasuluhu ‘Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya’, mempunyai dua dasar pokok yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan.
Pokok pertama , menyamakan kedudukan Muhammad sama dengan semua makhluk di hadapan Allah walaupun derajatnya berbeda.
Pokok kedua , membedakan kedudukan Muhammad dengan mahluk yang lain karena beliau adalah seorang rasul.
Hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah Jalla Jalaluhu dalam akhir surah Al-Kahfi,
“Katakan (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa sepeti kalian yang diberikan wahyu kepadaku bahwasanya sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang Esa.’.” [ Al-Kahfi: 110 ]
Kemudian dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Siapa yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada serikat bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya ….”
Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , ketika mengajarkan tasyahud kepada para shahabatnya, seperti ‘Abdullah bin Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim , Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Muslim , dan Abu Musa Al-Asy’ary dalam Shahih Muslim , terdapat kalimat syahadatain yaitu,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”
Kedudukan Muhammad Sebagai Hamba
Berkata Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Syaikh, “Hamba maknanya adalah yang dimiliki, yang menyembah, yaitu dimiliki oleh Allah Ta’ala dan tidak mempunyai sedikit pun sifat-sifat Rububiyah dan Uluhiyah. Sesungguhnya dia (Muhammad) hanyalah seorang hamba yang dekat di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.” Lihat Taisir Al-’Aziz Al-Hamid hal. 81-82.
Jadi, kalau dia seorang hamba (budak), tidak boleh disembah (diibadahi) melainkan harus menyembah, dan kalau dia dimiliki, tidak boleh dimintai sebab syarat untuk dimintai adalah harus memiliki (Al-Malik). Karena itu, dia tidak mampu memberi manfaat atau mudharat, bahkan dia hanya meminta manfaat kepada Allah berupa hidayah, harta, ilmu, dan sebagainya, serta berlindung pada-Nya dari segala kejelekan (mudharat) makhluk-Nya.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, “Dan keharusan dari syahadat ini adalah tidak boleh diyakini bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam punya hak dalam Rububiyah dan mengatur alam semesta atau punya hak dalam ibadah (hak untuk disembah). Bahkan dia (Rasulullah) seorang hamba, tidak disembah, dan Rasul tidak didustakan dan tidak memiliki sedikit pun kemampuan untuk memberi manfaat ataupun mudharat, baik kepada dirinya ataupun selain dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki sebagaimana firman Allah,
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak mengatakan kepada kalian, bahwa di sisi saya perbendaharaan Allah, dan tidak (pula) saya mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) saya mengatakan kepada kalian bahwa saya seorang malaikat. Saya tidaklah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’.” [ Al-An’am: 50 ]
Maka dia selaku hamba diperintahkan untuk mengikuti apa-apa yang diperintahkan dengannya. Kemudian firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki bagi kalian mudharat dan tidak pula petunjuk.’.” [Al-Jin: 21]
Juga firman Allah Ta’ala,
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya saya mengetahui yang ghaib, tentulah saya membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan saya tidak akan ditimpa kemudharatan. Saya tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’.” .”
Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71.
Akan tetapi Allah menjadikan ‘ubudiyah ‘penghambaan’ sebagai sifat kesempurnaan makhluk-Nya dan menjadikan makhluk-Nya sebagai makhluk yang paling dekat kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Al-Masih sekali-sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak pula malaikat-malaikat terdekat-Nya. Barangsiapa yang enggan dari menyembah - Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada - Nya.” [ An-Nisa: 172 ]
Juga firman-Nya,
“Dan ingatlah hamba Kami Daud.” [ Shad: 17 ]
Juga firman-Nya,
“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub.” [ Shad: 41 ]
Juga firman-Nya,
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.” [ Shad: 45 ]
Juga firman-Nya,
“Dan Kami telah berikan kepada Daud, Sulaiman sebaik-baik hamba.” [ Shad: 30 ]
Allah menyifatkan makhluk-makhluk-Nya yang paling mulia dan yang paling tinggi kedudukannya di antara makhluk-makhluk-Nya dengan ‘Ubudiyah pada kedudukannya yang paling mulia.
Allah juga menyebutkan sifat ‘Ubudiyah pada kedudukan diturunkannya Al-Kitab kepada hamba-Nya dan menantang untuk mendatangkan sepertinya sebagaimana firman-Nya,
“Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami maka datangkanlah satu surah semisalnya.” [ Al-Baqarah: 25 ]
Juga firman-Nya,
“Maha berkah Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” [ Al-Furqan: 1 ]
Juga ayat-ayat lain yang semakna.
Allah menyebutkan sifat ‘Ubudiyah dalam kedudukan beribadah pada-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Dan sesungguhnya tatkala hamba Allah berdiri, berdoa kepada-Nya ….” [ Al-Jin: 19 ]
Kemudian Allah menyebutkan hamba-Nya dengan ‘ubudiyah pada kedudukan Isra`,
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada satu malam.” [ Al-Isra`: 1 ]
Selain itu, Allah menjadikan kabar gembira secara mutlak kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [ Az-Zumar: 17-18 ]
Allah juga menjadikan rasa aman secara mutlak bagi hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Wahai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka dahulu adalah orang-orang yang berserah diri.” [ Az-Zukhruf: 68-69 ]
Allah tidak memberi keleluasaan kepada syaithan untuk menguasai mereka (hamba-hamba-Nya) secara khusus kecuali yang mengikuti syaithan dan berbuat syirik kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagi kamu untuk mereka kecuali siapa yang mengikuti kamu dari orang-orang yang sesat.” [ Al-Hijr: 42 ]
Juga firman-Nya,
“Sesungguhnya tidak ada kekuasaan baginya (syaithan) atas orang-orang yang beriman dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengannya.” [ An-Nahl: 99-100 ]
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menjadikan ihsan ‘ubudiyah sebagai tingkatan paling tinggi dalam beragama, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Al-Khattab, yang terkenal dengan “hadits Jibril”, yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menjawab, “Kamu menyembah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”
Baca Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 115-117.
Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu ‘ubudiyah kepada Allah tidak akan lepas (berhenti) dari seorang hamba selama hamba hidup di dunia, bahkan di alam barzakh dan di hari kemudian, walaupun ‘ubudiyah di dunia tentunya berbeda dengan ubudiyah di alam barzakh apalagi di hari kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya,
“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu keyakinan.” [ Al-Hijr: 99 ]
Juga firman-Nya kepada penduduk neraka,
“Dan dahulu kami mendustakan hari kemudian sampai datang kepada kami keyakinan.” [ Al-Muddatstsir: 46-47 ]
Keyakinan yang dimaksud adalah kematian menurut kesepakatan para ulama Ahli Tafsir.
Juga di dalam Shahih Al-Bukhary tentang kisah kematian ‘Utsman bin Mazh’un, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Adapun ‘Utsman maka sesungguhnya telah datang kepadanya keyakinan dari Rabb-nya, yaitu kematian.”
Barangsiapa yang menyangka bahwasanya dia telah sampai pada kedudukan, yakni telah gugur pada dirinya kewajiban untuk menyembah, maka dia zindiq, kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab sesungguhnya dia telah sampai pada kedudukan kafir kepada Allah dan berlepas diri dari agama ini. Bahkan, seorang hamba, jika kedudukan dia semakin kuat dan kokoh dalam penghambaan, maka ‘ubudiyah-nya juga semakin besar dan kewajiban dari ‘ubudiyah-nya juga semakin banyak dan lebih besar daripada orang yang berada dibawahnya. Oleh karena itu, kewajiban Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , bahkan semua rasul, lebih besar dan lebih banyak daripada umat-umat mereka, kewajiban rasul-rasul Ulul ‘Azmi lebih banyak daripada rasul-rasul selain Ulul ‘Azmi, kewajiban Ahlul ‘Ilmi lebih besar daripada selain Ahlul ‘Ilmi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hamba tergantung pada kedudukannya (martabatnya).
Lihat Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 118.
Kedudukan Muhammad Sebagai Rasul (Nabi)
Ahlus Sunnah Wal Jamaah menetapkan bahwasanya kenabian adalah pilihan dari Allah. Allah memilih nabi untuk hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Allah menghususkan nabi-Nya dengan rahmat-Nya, memilih nabi-Nya dengan keutamaan dan nikmat-Nya, dan bukan sekedar sifat-sifat tambahan, karena rahmat, keutamaan, dan nikmat-Nya terhadap nabi-Nya tidak bisa diperoleh dengan ilmu, latihan, banyaknya ibadah dan ketaatan, dan sebagainya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat (kenabian)-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [ Al-Baqarah: 105 ]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia memilih utusan-utusan dari para malaikat-Nya dan juga dari manusia. Dan إصطفاء ber-wazan إفتعال dari kata تصفية ‘pensucian’ sebagaimana إختيار ber-wazan افتعال dari kata الخيرة ‘pemilihan’, maka Dia mensucikan dan memilih siapa yang Dia inginkan sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 124,
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”
Maka Dia lebih tahu siapa yang pantas dijadikan utusan (rasul) dari (kalangan manusia) yang tidak dijadikan-Nya utusan.” Lihat Minhaj As-Sunnah 5/437.
Di tempat yang lain, beliau berkata, “Allah membersihkan/memilih dari malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan dan dari manusia. Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan risalah-Nya, maka Allah menghususkan nabi-Nya dengan sifat-sifat yang membedakan nabi-Nya dengan makhluk lain dalam hal akal dan agama, dan nabi-Nya dipersiapkan untuk dikhususkan dengan keutamaan dan rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zukhruf ayat 31-32,
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar (pada salah satu) dari dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” . ”
Lihat Minhaj As-Sunnah 2/416. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Al-Jin ayat 20-25.
Kedudukan Muhammad sebagai seorang rasul tidak boleh disamakan dengan kedudukan hamba Allah yang lain. Karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa didahulukannya kata عبده ‘hamba-Nya’ daripada kata رسوله ‘rasul-Nya’ dalam kalimat syahadat Muhammad Rasulullah adalah sebagai tanjakan dari bawah ke atas, dan dikumpulkannya kedua kata tersebut (hamba dan Rasul-Nya) adalah untuk menghindari dua kutub yang berbeda: kutub ifrath (ekstrim/berlebih-lebihan) dan kutub tafrith (menyepelekan), sebagaimana yang telah terjadi pada Isa ‘ alaihis salam , dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menguatkan makna ini dengan sabdanya dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashara berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya saya hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid hal. 82)
Orang-orang Nashara melakukan ifrath, berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji Nabi Isa, dan berbanding terbalik dengan cara orang-orang Yahudi yang melakukan tafrith dalam bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Nabi Isa.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah menetapkan, (dengan perbuatan) melalui lisan dan (dengan) iman melalui hati, bahwasanya Muhammad bin ‘Abdullah Al-Qurasy Al-Hasyimy adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [ Adz-Dzariyat: 56 ]
Tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan perantara wahyu yang Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam telah datang dengan wahyu tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur`an) kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” [ Al-Furqan: 1 ].”
Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, dalam Al-Ushul Ats-Tsalatsah , menetapkan empat perkara yang merupakan konsekuensi (keharusan dan tuntutan) dari makna syahadat Muhammad Rasulullah:
Pertama, menaati Rasulullah pada apa yang beliau perintahkan.
Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan wajibnya taat kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam di dalam Al-Qur`an dan sunnah, serta menggandengkan antara ketaatan pada-Nya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya di dalam banyak ayat, di antaranya,
“Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” [ Al-Anfal: 1 ]
Juga di dalam firman-Nya,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).” [ Al-Anfal: 20 ]
Siapa yang durhaka kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepada Allah maka tempatnya adalah neraka, sebagaimana firman-Nya,
“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang sangat besar.” [ An-Nisa`: 13 ]
Kemudian dalam ayat berikutnya,
“Siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batasan-batasan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan baginya adzab yang menghinakan.” [ An-Nisa`: 14 ]
Selain itu, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدَ أَبَى
“Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa yang menaatiku maka dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka sesungguhnya dia enggan.’.”
Lalu, dalam hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, disebutkan,
فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَى مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ عَصَى اللهَ
“Siapa yang menaati Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah menaati Allah, dan siapa yang mendurhakai Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah mendurhakai Allah.”
Kedua, membenarkan apa yang Rasulullah kabarkan/beritakan.
Sesungguhnya apa yang Rasulullah bawa semuanya adalah benar, karena merupakan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya,
“Dan dia ( Rasulullah) tidak berbicara dari hawa nafsunya, kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” [ An-Najm: 3-4 ]
Juga Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [ Az-Zumar: 33 ]
Kemudian dalam surah lain,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, saksikanlah, (wahai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.’.” [ Ali ‘Imran: 81 ]
Juga ijma’ para ulama bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itu ma’shum ‘terjaga’ dari dusta.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah -nya, “Kemudian rasul-rasul yang benar dan dibenarkan.”
Ketiga, menjauhi apa yang Rasulullah larang dan peringatkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala ,
“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarang atas kalian darinya maka jauhilah, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” [ Al-Hasyr: 7 ]
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْىءٍ فَاجْتَنَبُوْهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan jika saya melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan jika saya memerintah kalian kepada sesuatu maka datangkanlah (lakukanlah) sesuai kemampuan kalian.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,
إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنَّيْ أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلىَ مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذِبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِيْ فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِيْ وَكَذَبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ
“Sesungguhnya perumpamaan aku dan perumpumaan apa yang Allah mengutus aku dengannya, seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum kemudian berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya saya melihat pasukan dengan kedua mataku dan sesungguhnya saya adalah An-Nadzir Al-‘Uryan ‘pemberi peringatan yang telanjang’,’ maka sekelompok dari kaumnya menaatinya dan bergegas berjalan di malam hari dengan kehati-hatian dan mereka selamat, sementara sekelompok dari mereka mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempatnya, maka pasukan itu menyerangnya di waktu Shubuh, lalu menghancurkan dan membinasakannya. Yang demikian itu perumpamaan orang yang menaatiku dan mengikuti apa yang aku didatangkan dengannya, dan perumpamaan orang yang bermaksiat kepadaku dan mendustakan apa yang aku didatangkan dengannya dari kebenaran.”
An-Nadzir Al-‘Uryan adalah perumpamaan yang dipakai oleh orang-orang untuk menunjukkan kebenaran apa yang ia sampaikan.
Keempat, tidak menyembah Allah ‘Azza wa Jalla kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, bukan dengan bid’ah, bukan pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan, atau anggapan-anggapan yang seseorang pandang baik, karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syariat. Nanti dikatakan ibadah kalau disyariatkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Maka siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan siapa pun dalam peribadahan.” [ Al-Kahfi: 110 ]
Para ulama menafsirkan bahwa amal shalih adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [ Al-Maidah: 3 ]
Ayat ini menunjukkan bahwasanya agama ini telah sempurna dengan tauhid, syariat, akhlak, dan seluruh apa yang dibutuhkan oleh makhluk di muka bumi ini. Itulah nikmat yang paling besar. Al-Qur`an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itulah yang diridhai di sisi Allah. Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini, dan mensyariatkan suatu syariat yang tidak disyariatkan oleh Allah dan menjadikan syariat tersebut sebagai jalan selain jalan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka sesungguhnya dia telah melecehkan Allah atau kitab-Nya, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, karena sesungguhnya Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Kebaikan dan nikmat terdapat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam serta sikap berpegang teguh terhadap Kitabullah dan sunnah tersebut.
Sebagai kesimpulan, berkata Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Maka, dengan ini, kamu mengetahui bahwasanya tidak berhak ibadah itu diperuntukkan. Tidak kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , tidak pula kepada selainnya dari seluruh makhluk. Ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah semata.
Dan bahwasanya hak Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam adalah, kamu memberikan kedudukan kepadanya sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan/tetapkan padanya, yaitu sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 72.
Wallahu waliyyut taufik.

Aku Beriman Kepada Allah

Memahami Pernyataan “Aku Beriman Kepada Allah”
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
“Aku beriman kepada Allah” adalah sebuah pernyataan yang sudah dapat dipastikan telah kita lafalkan. Kita juga mengetahui bahwa keimanan ini adalah keimanan yang pertama kali dituntut bagi seorang muslim pada rukun iman yang enam.
Hal ini sebagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang apa itu iman, yaitu,
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman dengan takdir, yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)
Sejauh manakah pemahaman kita akan pernyataan keimanan ini? Beriman kepada Allah, tidaklah cukup dengan sekedar mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta dan Pemberi Rezeki. Karena kaum musyrikin pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui ini, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 9)
Agar kita tidak sekedar taklid (ikut-ikutan) dan dapat memahami pernyataan keimanan ini secara benar, maka ketahuilah saudariku, keimanan kepada Allah terkandung di dalamnya empat unsur yang saling berkaitan.
Pertama, keimanan kepada wujudullah (adanya Allah ta’ala). Maka jelas batillah pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak ada. Bahkan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala jelas nyata, baik secara fitrah, akal, syar’i dan secara indrawi.
Secara fitrah, setiap makhluk mengimani adanya Dzat yang menciptakan tanpa harus berpikir atau mempelajari terlebih dahulu. Adapun jika tidak sesuai dengan fitrah, maka ini terjadi karena ada sesuatu yang memasuki hatinya dan memalingkannya dari fitrah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara akal, maka kita mengetahui tidak mungkin sesuatu ada tanpa ada yang menciptakan dan kita juga mengetahui kita tidak menciptakan diri-diri kita sendiri. Maka jelas ada Dzat yang menciptakan, dan Dia-lah Allah tabaroka wata’ala.
Adapun dalil secara syar’i, maka seluruh kitab samawi membahas tentang adanya Allah ta’ala. Adapun ayat-ayat yang berisi hukum-hukum yang berisi manfaat untuk makhluk menunjukkan bahwa Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui apa yang membawa manfaat bagi makhluk-Nya. Dan ayat-ayat yang berisi khobar kauniyah dapat kita saksikan peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan yang dikhabarkan tersebut, dan ini menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan peristiwa yang telah diberitakan-Nya.
Keberadaan Allah juga dapat kita ketahui secara indrawi dengan dua cara, yaitu dari terkabulnya do’a dan dari mu’jizat para Nabi dimana manusia dapat menyaksikan atau mendengar mukjizat tersebut. Ini adalah kenyataan yang pasti akan adanya Dzat yang mengutus para Nabi tersebut dan Dia-lah Allah ta’ala.
Kedua, keimanan kepada sifat rububiyah Allah ta’ala, yaitu kita mengimani bahwa hanya Allah Rabb semesta alam dan tidak ada satupun sekutu bagi-Nya. Hanya bagi-Nya-lah hak untuk mencipta, menguasai dan memerintah. Tidak ada seorang pun yang mengingkari sifat rububiyah Allah ini kecuali orang-orang yang sombong yang meragukan perkataan mereka sendiri.
Ketahuilah! Keimanan pada sifat rububiyah Allah telah diakui oleh kaum musyrikin pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al Muminun [23]: 84-89)
Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui unsur yang ketiga dari keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu keimanan kepada sifat uluhiyah Allah ta’ala, yaitu mengimani bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah dan tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)
Dakwah pada sifat uluhiyah inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin karena mereka mengambil tuhan-tuhan selain Allah ta’ala yang mereka meminta pertolongan dan memberikan pengorbananan pada sesembahan-sesembahan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala membatilkan perbuatan kaum musyrikin dan orang-orang yang membuat sekutu-sekutu bagi Allah ta’ala dengan dua dalil secara akal,
  1. Sesembahan mereka tidak memiliki kekhususan dari sifat-sifat uluhiyah Allah, mereka tidak menciptakan tetapi diciptakan, mereka tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak bahaya dan sifat-sifat yang tidak mungkin dapat dimiliki selain Allah ta’ala.
  2. Sesungguhnya kaum musyrikin mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Pencipta (pengakuan pada sifat rububiyah Allah). Maka pengakuan mereka tersebut seharusnya melazimkan bagi mereka untuk tidak menyekutukan Allah dalam perkara uluhiyah Allah.
Keempat, engkau wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala yaitu nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tafwidh. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-A’raaf, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raaf [7]: 180)
Ketahuilah! Penetapan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah tabaroka wa ta’ala tidak melazimkan kita melakukan penyerupaan atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan tersebut. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)
Demikianlah saudariku. Dengan keimanan yang benar pada Allah subhanahu wa ta’ala, maka akan meperbaiki ketauhidanmu kepada Allah ta’ala yaitu dengan tidak menyembah kepada selain-Nya, menyempurnakan kecintaanmu pada Allah serta memperbaiki amal ibadahmu dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Semoga engkau kini memahami dengan makna yang benar dari pernyataan, “Aku beriman kepada Allah”. Berimanlah kepada Allah ta’ala secara utuh! Janganlah engkau tinggalkan salah satu dari empat unsur keimanan pada Allah ini. Jika engkau tinggalkan unsur pertama, maka engkau termasuk orang-orang sombong yang membohongi dirimu sendiri. Jika engkau tinggalkan unsur kedua, maka engkau tidak lebih baik dari kaum musyrikin pada masa Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Jika engkau tinggalkan unsur ketiga, maka engkau akan terjerumus dalam perbuatan syirik yang Allah ta’ala tidak akan mengampunimu sebelum engkau bertobat. Jika engkau tinggalkan unsur keempat, maka engkau telah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya. Wallahu musta’an.
Maraji’: Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad ibn Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi
***
Artikel www.muslimah.or.id

Rukun Iman

Rukun Iman
1.      Iman Kepada Allah
Kita mengimani Rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, artinya bahwa Allah adalah Rabb: Pencipta, Penguasa dan Pengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kita juga harus mengimani uluhiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala artinya Allah adalah Ilaah (sembahan) Yang hak, sedang segala sembahan selain-Nya adalah batil. Keimanan kita kepada Allah belumlah lengkap kalau tidak mengimani Asma’ dan Sifat-Nya, artinya bahwa Allah memiliki Nama-nama yang maha Indah serta sifat-sifat yang maha sempurna dan maha luhur. Dan kita mengimani keesaan Allah dalam hal itu semua, artinya bahwa Allah tiada sesuatupun yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, maupun dalam Asma’ dan sifat-Nya.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “(Dia adalah) Tuhan seluruh langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beridat kepada-Nya. Adakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?”. (QS : Maryam ayat 65)
Dan firman Allah “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah yang maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS: Asy-Syura :11)
2.      Iman Kepada Malaikat
Bagaimana kita mengimani para malaikat ? mengimani para malaikat Allah yakni dengan meyakini kebenaran adanya para malaikat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan para malaikat itu, sebagaimana firman-Nya: Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah mereka itu mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. (QS: Al-anbiya : 26-27)
Mereka diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah: …Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak bersikap angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. (QS: Al-Anbiya:19-20).
3.      Iman Kepada Kitab Allah
Kita mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan kepada rasul-rasul-Nya kitab-kitab sebagai hujjah buat umat manusia dan sebagai pedoman hidup bagi orang-orang yang mengamalkannya, dengan kitab-kitab itulah para rasul mengajarkan kepada umatnya kebenaran dan kebersihan jiwa mereka dari kemuysrikan. Allah berfirman : Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan… (QS: Al-Hadid : 25)
Dari kitab-kitab itu, yang kita kenal ialah :
1)  Taurat, yang Allah turunkan kepada nabi Musa alaihi sallam, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah :44.
2)  Zabur, ialah kitab yang diberikan Allah kepada Daud alaihi sallam.
3)  Injil, diturunkan Allah kepada nabi Isa, sebagai pembenar dan pelengkap Taurat. Firman Allah : …Dan Kami telah memberikan kepadanya (Isa) injil yang berisi petunjuk dan nur, dan sebagai pembenar kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, serta sebagai petunjuk dan pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS : Al-Maidah : 46)
4)  Shuhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada nabi Ibrahim dan Musa, ‘Alaihimas-shalatu Wassalam.
5)  Al-Quran, kitab yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad, penutup para nabi. Firman Allah. Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil… (QS : Al Baqarah: 185).
4.      Iman Kepada Rasul-Rasul
Kita mengimani bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, firman Allah (Kami telah mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita genbira dan pemberi peringatan, supaya tiada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah (diutusnya) rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS : AN-Nisa: 165).
Kita mengimani bahwa rasul pertama adalah nabi Nuh dan rasul terakhir adalah Nabi Muhammad, semoga shalawat dan salam sejahtera untuk mereka semua. Firman Allah : Sesungguhnya Kami telahmewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang) sesudahnya… (QS: An-Nisa: 163).
5.      Iman Kepada Hari Kiamat
Kita mengimani kebenaran hari akhirat, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain sesudah hari tersebut.
Untuk itu kita mengimani kebangkitan, yaitu dihidupannya semua mahkluk yang sesudah mati oleh Allah. Firman Allah: Dan ditiuuplah sangkakala, maka matilah siapa yang ada dilangit dan siapa yang ada di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka bangkitmenunggu (putusannya masing-masing). (QS : Az-Zumar : 68)
Kita mengimani adanya catatan-catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia. Ada yang mengambilnya dengan tangan kanan dan ada yang mengambilnya dari belakang punggungnya dengan tangan kiri. firman Allah :Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang punggungnya, maka dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan masuk neraka yang menyala. (QS: Al-Insyiqaq:13-14).
6.      Iman Kepada Qadar Baik dan Buruk
Kita juga mengimani qadar (takdir) , yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh mahkluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijakan-Nya.
Iman kepada qadar ada empat tingkatan:
1) ‘Ilmu:
ialah mengimani bahwa Allah Maha tahu atas segala sesuatu,mengetahui apa yang terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan abadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya tidakmenjadi tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang dikehendaki.
2) Kitabah:
ialah mengimani bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat. firman Allah:Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. sesungguhnya tu (semua) tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya Allah yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS: Al-Hajj: 70)
3) Masyi’ah:
ialah mengimani bawa Allah SWT. telah menghendaki segala apa yang ada di langit dan di bumi, tiada sesuatupun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.
4) Khal:
Ialah mengimani Allah Subhanahu Wa Ta’ala. adalah pencipta segala sesuatu. Firman-Nya; Alah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Hanya kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.(QS: Az-Zumar: 62-63).
Keempat tingkatan ini meliputi apa yang terjadi dari Allah sendiri dan apa yang terjadi dari mahkluk. Maka segala apa yang dilakuakan oleh mahkluk berupa ucapan, perbuatan atau tindakan meninggalkan, adalah diketahui, dicatat dan dikehendaki serta diciptakan oleh Allah.
(Sumber : Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Yayasan Al-Sofwa Jakarta 1995)
 Sumber: http://ngajisalaf.wordpress.com.

Pengertian Iman


Pengetian Iman

  1. Pengertian Iman Dalam Al-Qur’an dan Hadits
Arti iman dalam Al-Qur’an maksudnya membenarkan dengan penuh Keyakinan bahwa Allah SWT. mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwaNya Al-Qur’an adalah kalam Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya.
Arti Iman dalam Hadits maksudnya iman yang merupakan pembenaran batin. Rasullallah menyebutkan hal-hal lain sebagai iman, seperti akhlak yang baik, bermurah hati, sabar, cinta Rasul, cinta sahabat, rasa malu dan sebagainya.

  1. Arti Iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah iman adalah
“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan”

Penjelasan arti iman
·         Membenarkan dengan hati maksudnya menerima segala apa yang di bawa oleh Rasullullah.
·         Mengikrarkan dengan lisan maksudnya mengucapkan dua kalimah syahadat “Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan Rasullullah” (tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah).
·         Mengamalkan dengan anggota badan maksudnya hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkan dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya.

  1. Rukun Iman Dan Hal-Hal Yang Membatalkan
·         Rukun iman terbagi menjadi enam yaitu:
1.      Iman kepada Allah SWT
2.      Iman kepada para Malaikat
3.      Iman kepada Kitab-kitab
4.      Iman kepada para Rasul
5.      Iman kepada Hari Kiamat
6.      Iman kepada Qadha dan Qadar

Hadits tentang iman
“Engkau beriman kedapa Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada hari akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Firman Allah SWT.
 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali-Imran: 190).

1.      Iman kepada Allah SWT
Yaitu percaya kepada Allah, orang yang beriman kepada Allah akan mendapatkan ketengan jiwa yang muncul dari kalbu secara ikhlas. Adapun yang utama kita beriman kepada Allah yaitu kita menyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Firman Allah SWT.
 “Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya”. (QS. An-Nisa:175).

2.      Iman kepada para Malaikat
Semua makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. dapat dibagi kepada dua macam: pertama, yang ghaib (al-ghaib), dan kedua, yang nyata (as-syahadah). Yang membedakan keduanya adalah bisa dan tidak bisanya dijangkau oleh pancaindera manusia. Seseuatu yang tidak bisa dijangkau oleh pancaindera manusia digolongkan kepada yang ghaib, sedangkan sesuatu yang bisa dijangkau oleh pancaindera manusia digolongkan kepada yang as-shahadah atau nyata.
Bagaimana kita mengimani dan mengetahui wujud malaikat yaitu, pertama melalui akhbar yang disampaikan oeh Rasullullah SAW baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah. Kedua lewat bukti-bukti nyata yang ada dalam semesta yang menunjukan bahwa Malaikat itu ada.
Pengertian Malaikat
Secara etimologis kata Malaikah adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari al-alukah artinya ar-risalah (missi atau pesan). Secara terminologis Malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya dengan wujud dan sifat-sifat tertentu. Jumlah Malaikat yang wajib kita tahu ada sepuluh dengan masing-masing tugas yang Allah berikan kepadanya.

3.      Iman kepada Kitab-kitab
Secara etimologis kata kitab adalah bentuk masdhar dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis. Setelah menjadi masdhar berarti tulisan, atau yang ditulis.
Secara terminologis Al-Kitab adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada para Nabi dan RasulNya.
Adapun kitab-kitab yang wajib kita tahu ada empat yaitu:
·         Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS.
·         Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS.
·         Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Dawud AS.
·         Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

4.      Iman kepada para Rasul
Secara etimologis Nabi berasal dari na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seseorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Dengan memberinya berita (wahyu). Sedangkan Rasul berasal dari kata ar-sa-la artinya mengutus. Setelah dibentuk menjadi Rasul berarti yang diutus. Dalam hal ini seorang Rasul adalah seorang yang diutus oleh Allah SWT. untuk menyampaikan misi, pesan (ar-risalah).
Secara terminologis Nabi dan Rasul adalah manusia biasa, laki-laki, yang dipilih oleh Allah SWT. untuk menerima wahyu. Apabila tidak diirigi dengan kewajiban menyampaikan atau membawa satu misi tertentu, maka dia disebut Nabi saja. Namun bila diikuti dengan kewajiban menyampaikannya atau membawa satu misi tertentu maka dia disebut juga Rasul. Adapun jumlah Nabi dan sekaligus Rasul ada dua puluh lima orang.

5.      Iman kepada Hari Kiamat
Yang dimaksud hari akhir adalah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan di dunia fana ini berakhir, termasuk semua proses dan peristiwa yang terjadi pada Hari itu, mulai dari kehancuran alam semesta dan seluruh isinya, serta berakhirnya seluruh kehidupan (Qiyamah), kebangkitan seluruh umat manusia dari dalam kubur (Ba’ats), dikumpulkannya seluruh umat manusia di padang mahsyar (Hasyr), perhitungan seluruh amal perbuatan manusia di dunia (Hisab), penimbangan amal perbuatan tersebut untuk mengetahui perbandingan amal baik dan amal buruk (Wazn), sampai kepada pembalasan dengan surga atau neraka (Jaza’).
Firman Allah SWT.
 “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepada melainkan dengan tiba-tiba….”. (QS. Al-A’raf: 187)

6.      Iman kepada Qadha dan Qadar
Secara etimologis Qadha adalah bentuk masdhar dari kata kerja qadha yang berari kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hali ini Qadha adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah SWT. terhadap segala sesuatu. Sedangkan Qadar secara etimologis adalah bentuk masdhar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hali ini Qadar adalah ukuran atau ketentuan Allah SWT. terhadap segala sesuatu. Secara terminologis ada ulam yang berpenapat kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, dan ada pula ynag membedakannya. Yang membedakan, mendefinisikan Qadar sebagai: “Ilmu Allah SWT. Tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhlukNya pada masa yang akan datanh”. Dan Qadha adalah: “Penciptaan segala sesuatu oleh Allah SWT. Sesuai dengan ilmu dan IradahNya”.

·             Hal - hal yang membatalkan iman

Pembatal iman atau “nawaqidhul iman” adalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman sesudah iman masuk didalamnya yakni antara lain:
1.        Mengingkari rububiyah Allah atau sesuatu dari kekhususan- kekhususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.
2.        sombong serta menolak beribadah kepada Allah
3.        menjadikan perantara dan penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah.
4.        menolak sesuatu yang ditetapkan Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh RasulNya.
5.        mendustakan Rasullullah.
6.        mengolok-olok atau mengejek-ejek Allah atau Al-Qur’an atau agama Islam atau pahala dan siksa yang sejenisnya, atau mengolok-olk Rasullullah atau seorang Nabi, baik itu gurauan maupn sungguhan, dan lain sebagainya.



            Kesimpulan
·             Arti iman dalam Al-Qur’an maksudnya membenarkan dengan penuh Keyakinan bahwa Allah SWT. mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas.
·             Arti Iman dalam Hadits maksudnya iman yang merupakan pembenaran batin.
·             Arti Iman menurut bahasa iman berarti pembenaran hati, menurut istilah berarti membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan
·             Rukun iman terbagi enam yaitu: 1. Iman kepada Allah SWT., 2. Iman kepada para Malaikat, 3. Iman kepada Kitab-kitab, 4. Iman kepada para Rasul, 5. Iman kepada Hari Kiamat, dan 6. Iman kepada Qadha dan Qadar.
·             Salah satu hal yang mebatalkan iman adalah, sombong serta menolak beribadah kepada Allah.



DAFTAR PUSTAKA


Kitab Tauhid / Tim Ahli Tauhid, Universitas Islam Indonesia, penerjemah, Agus Hasan Bashori. Cet. 1. jakarta: Darul Haq, 1998.
Drs. Ilyas, Yunahar, Lc, Kuliah Aqidah Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: Heppy el Rais, 2001.
Drs. H.Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: Rineka Citra, 1996.

Sumber: www.downloads.ziddu.com